Abdi Negara dan Semangat Perbaikan - Ruang Tunggu

2/27/12

Abdi Negara dan Semangat Perbaikan

Masih lekat dalam ingatan saya saat-saat Diklat Prajab November 2011 lalu. Kami diyakinkan, juga diajarkan tentang idealisme, bagaimana seharusnya menjadi seorang abdi negara. Segala hal yang ideal dipaparkan. Diskusi dan perdebatan mengenai kondisi ideal dan realitas dilakukan dengan berapi-api. Pada waktu itu, kami seolah-olah siap mengguncang dunia, mengubah segala ketidakberersan yang terjadi dengan sekali gebrak! Kami adalah darah muda, maka wajar saja jika demikian. Seperti kata Bung Karno tentang kami, "Berikan aku 10 pemuda maka akan kuguncang dunia!"

Tetapi, semangat berapi-api itu seolah padam, atau paling tidak meredup kala dihadapkan pada kenyataan sistem pengelolaan negara ini. Sistem secara keseluruhan memang ideal, tetapi dalam praktiknya, semua tidak seindah itu. Ada banyak borok di sana-sini, ada kezaliman di sana-sini, ada kecurangan, kepicikan dan semangat feodalisme yang kuat tertanam. Dan sebagai pemula dalam dunia ini, kami tidak punya kekuasaan secuil pun. Apa yang bisa kami lakukan hanyalah "sendhika dhawuh". Jika sikap melawan kami tunjukkan, maka dengan segera kami akan menjadi musuh bersama, common enemy.

Maka, tidak heran jika kemudian muncul berbagai ungkapan seperti, "Jadi abdi negara jangan sok pahlawan!" "Jika ingin bekerja secara profesional, jangan jadi abdi negara." "Jika engkau ingin ilmumu dihargai, jangan jadi abdi negara." Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan miring lain terkait profesi abdi negara ini. Semuanya ingin mengatakan bahwa profesi abdi negara ini memang tak sepi dari konotasi negatif. Padahal, profesi abdi negara memegang kunci penting dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tangan merekalah baik buruknya pelayanan negara dan masyarakat. Di tangan merekalah baik buruknya negara ini ditentukan.

Jika sudah begini, apa yang harus kita lakukan? Apakah sebagai abdi negara kita akan diam saja, atau memilih keluar dari sistem yang bobrok ini? Atau bagi yang masih memilih pekerjaan, haruskan mencoret pilihan menjadi abdi negara dari daftar cita-cita?

Hemat saya, yakinlah dengan apa yang kita canangkan, apa yang kita pilih. Dan setelah itu berazzamlah untuk istiqamah dalam kebaikan. Sebab, jika orang-orang baik dan ingin melakukan perbaikan beramai-ramai meninggalkan posisi ini, maka bisa dibayangkan bahwa profesi ini akan semakin identik dengan konotasi negatif. Padahal urusan umat berada di tangan mereka melalui negara. Maka sejatinya kita telah melakukan kezaliman itu sendiri.

Yang paling utama adalah, jangan sampai kita sampai tenggelam dalam samudera yang keruh itu. Sebuah lingkungan yang barangkali masih belum ideal. Tetapi menyelamlah, menjadilah engkau seorang penyelam, sehingga ke mana pun arus mengalir, engkau masih punya pilihan arah menuju. Jauhilah arus yang deras, karena kita tidak tahu, apakah kita sanggup melawannya. Dalam kondisi semacam ini, kita harus bisa bersabar, sambil terus melakukan perbaikan sekecil apa pun itu. Ajak orang-orang di sekitar. Karena jika Allah berkehendak, Dia akan mengaruniakan kekuasaan untuk membuat perbaikan itu menjadi nyata. Kisah Nabi Syu'aib a.s. insya Allah menjadi teladan:

Syu'aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali" (Q.s. Hud [11]: 88).

Wallahu a'lam

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

Silakan meninggalkan komentar Anda di sini