Jabatan Itu Anugerah atau Musibah? - Ruang Tunggu

5/14/12

Jabatan Itu Anugerah atau Musibah?


Lelaki itu terguncang. Tak pernah terpikir dalam benaknya menerima amanah ini. Maka di tengah gejolak hatinya itu ia bangkit lantas berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada di leher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki."

Penolakan ia sampaikan, tetapi orang-orang tetap memilihnya. Ia pun akhirnya menerima dengan berat hati, rasa takut kepada Allah, dan tangisan. Segala keistimewaan yang merupakan fasilitas atas kedudukannya ia tolak. Ia pun lantas pulang ke rumah berniat untuk tidur. Letih setelah mengurus jenazah seorang sahabat yang kedudukannya kini ia gantikan.

Pada saat itulah anaknya yang berumur 15 tahun masuk, menanyakan apa gerangan yang sedang diperbuatnya. Maka ia pun menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini".

"Jadi apa yang akan engkau lakukan, wahai ayah?" tanya anaknya ingin tahu.

"Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zhuhur, kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama orang-orang."

Bukannya mengiayakan, sang anak justru berkata, “Ayah, siapakah yang menjamin ayah masih hidup hingga waktu zhuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi...” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya untuk mendekat sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku.”

Ya, dialah khalifah yang diberi julukan sebagai khalifah kelima. Umar bin Abdul Azis r.a. Ia hidup dengan sederhana. Jabatan tidak menjadikannya sok kuasa dan semena-mena terhadap rakyat. Jabatan baginya adalah ujian yang akan lebih banyak tanggung jawab dan tuntutannya. Suatu waktu, beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isterinya “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jabatan ini dan aku teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya banyak, rezekinya sedikit; aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan menuntutku di akhirat kelak dan aku khawatir tidak dapat menjawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah karana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah Saw." Maka tak heran dalam waktu kurang dari 3 tahun, tidak ada lagi orang miskin dari kalangan rakyatnya, sehingga tak ada lagi yang berhak menerima zakat pada masa itu. Subhanallah.

Rabb... kami rindu pemimpin seperti beliau, ya Rabb... Jadikan kami mewarisi apa yang beliau miliki, dari keimanan, keindahan akhlak dan keutamaan ibadahnya kepada-Mu.


#sebuah renungan diri, yang esok hari insya Allah kan secara resmi diangkat menjadi pengabdi bagi negara ini. Ya Allah… aku tak tahu ini anugerah atau musibah. Aku hanya berprasangka baik padaMu…

B 140512

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

Silakan meninggalkan komentar Anda di sini