Sejatinya hidup itu tawar. Menjadi berasa karena kita menyertakan perasaan untuk mencerna fenomenanya. Kita pun kemudian mengenal senang, sedih, bahagia, merana, dan sebagainya. Ya, kita merasakan itu semua semata-mata karena emosi dan persepsi yang kita libatkan dalam menyikapi suatu peristiwa.
Barangkali, engkau akan merasa biasa saja melihat sebuah pertandingan sepakbola tingkat dusun di sebuah daerah asing yang tiada satu pun pemainnya kau kenali. Tim mana pun yang menang, boleh jadi takkan membuatmu bersorak “Hore!” Mungkin kau hanya bertepuk tangan biasa.
Tapi mungkin akan berbeda jika tim itu adalah tim dari kampungmu, jika mereka menang, mungkin kadar kegembiraanmu akan lebih besar. Mungkin engkau akan melakukan tos dengan kawan, berteriak “Hore!” dan sebagainya. Sebaliknya, engkau mungkin akan bersedih jika tim itu kalah. Engkau bisa merasakan gembira atau sedih karena adanya keterikatan emosi dengan obyek yang menjadi fenomena tersebut.
Hidup pada dasarnya netral. Seperti netralnya segelas air putih. Tak berasa memang, tetapi menyegarkan. Tawar, tapi mampu menghilangkan dahaga yang menyerang. Tak dingin, tak jua panas, tapi menghadirkan kesejukan. Dalam regukan-regukan yang masuk ke dalam tenggorokan kita, ia melegakan. Ya, hidup sejatinya sudah membawa kebahagiaannya sendiri-sendiri. Tentu saja, jika proporsional.
Pertanyannya, jika hidup itu memang tawar, netral, ataupun bening, lantas mengapa tak sedikit dari kita yang merasakan bahwa hidup itu pahit? Dan tidak jarang pula, banyak yang merasakan manis?
Sesuai dengan sifat air, maka sejatinya ia akan terasa manis jika kita merasakannya dengan menambahkan gula, bisa juga terasa pahit jika kita menambahkan empedu. Begitulah sifat air, sebagaimana juga sifat hidup.
Begitu banyak kita dapati orang yang di mata kita terlihat kekurangan dan menderita. Namun mereka justru hidup dengan bahagia dan mensyukuri apa yang ada. Sementara tidak jarang pula orang yang hidup dengan harta melimpah tetapi hidupnya tidak nyaman, bahkan ia cenderung merasa kurang atas apa yang ia dapatkan. Ingin lagi dan lagi, namun harta tak mampu membuatnya bahagia. Jika sudah begini, sebenarnya apa yang bisa membuat kita bahagia?
Bahagia itu letaknya ada di hati dan pada persepsi menghadapi ujian. Meminjam permisalan yang dipakai Mbah Dipo dalam sebuah tulisannya, seorang miskin yang tiap hari tinggal digubug reot dan hidup dengan miskin akan merasa senang, jika ada orang baik yang menjanjikan bulan depan ia akan diberi pekerjaan dengan gaji 5 juta per bulan. Jauh sebelum ia menikmati gaji itu pun ia akan bahagia, gubug reot dan kehidupan miskinnya akan ia lewati dengan bayangan indah tentang janji yang akan diterimanya bulan depan.
Namun coba lihat hidup seorang yang kaya raya, yang istrinya cantik, mobilnya banyak, uangnya melimpah, dan rumahnya mewah yang mendapat surat “cinta” dari pengadilan tentang statusnya sebagai terdakwa. Malam-malamnya ia lewati dengan perasaan gelisah meski tidur di tilam indah dan empuk bersanding istri secantik bidadari. Tidak lain karena bulan depan kemungkinan ia akan menghuni hotel prodeo.
Begitulah kebahagiaan seseorang, jika terhadap janji seorang manusia saja bisa sedemikian senang, maka terhadap janji Allah yang pasti berupa surga, seharusnya kita bisa melewati hidup ini dengan manis, bahagia dan penuh kesyukuran serta berbuat yang terbaik untuk akhirat yang diidamkan: surga. Meskipun di dunia kita merasakan penderitaan karena istiqamah dalam kebenaran, tetapi dengan mengingat janji tersebut, kita akan tetap tersenyum melewati hari-demi hari, karena kita tahu, kelak akan berakhir dengan janji yang pasti. Bahwa ‘kepahitan’ itu hanya sebentar dan akan ditukar dengan kemanisan yang kekal. Sebagaimana tekad Bilal saat didera siksa di bawah terik matahari kota Mekah. Ia berucap tabah, “Ahad… Ahad…!”
Persepsi memang selalu bisa memengaruhi, mengubah sesuatu yang jelek menjadi indah, mengubah yang pahit jadi manis. Karena segelas air putih takkan berubah rasa menjadi madu, kecuali engkau menuangkan beberapa sendok madu ke dalamnya. Ia bahkan berasa pahit bila yang kau tuang adalah empedu. Dan madu itu, boleh jadi ada dalam bentuknya sebagai persepsi maupun amal-amal yang membahagiakan.
Maka sebagaimana segelas air itu, tuangilah hidupmu dengan madu, dengan amal-amal yang membahagiakan hidupmu. Jangan kau tuang racun yang merusak amal dan membuat hidup kelabu.
Wallahu a’lam