Tentang Takdir dan Rela - Ruang Tunggu

3/1/12

Tentang Takdir dan Rela

Sejatinya takdir itu akan selalu mewarnai hidup kita, baik itu takdir baik maupun takdir buruk, maka jika itu menimpamu, tak perlu kiranya kau risaukan. Bukankah itu yang tersebut didalam rukun iman keenam? “Dan engkau beriman kepada takdir, yang baik dan yang buruk.”

Foto: Tumpukan Batu
Dalam setiap kejadian, selalu ada hikmah. Dan kita diharuskan untuk menggalinya. Maka saya sangat tersentuh ketika Tarbawi menurunkan pembahasan tentang belajar memahami. Rabb, ajarkan kami memahami semua ini. Bahwa dalam setiap takdir selalu ada rela yang harus kita jaga. Rela dengan ketetapan-Nya.

Maka tentang rela kita bisa belajar dari Urwah bin Zubair r.a. yang waktu itu kehilangan anaknya sekaligus kehilangan salah satu kakinya (kakinya patah). Beliau berujar, “Ya Allah, hanya untuk-Mu lah segala pujian. Engkau memberiku empat anggota badan, engkau ambil satu dan menyisakan tiga. Dan segala puji hanya untuk-Mu, sebelumnya aku mempunyai tujuh orang anak lalu engkau ambil seorang dan menyisakan enam yang lain, segala pujian atas apa yang Engkau berikan, segala pujian atas apa yang Engkau ambil. Aku persaksikan kepada kalian bahwa aku rela kepada Rabbku.”

Di sisi lain, seorang sahabat yang sangat terkenal dengan doanya yang makbul, Saad bin Abi Waqash r.a. yang kala itu mengunjungi Mekah. Maka para penduduk segera mengerumuninya untuk minta didoakan oleh sahabat yang telah tua dan buta ini. Ketika semua telah pergi, seorang anak berbicara padanya, “Engkau berdoa untuk kebaikan orang lain, andai saja engkau berdoa untuk kebaikan dirimu sendiri agar Allah mengembalikan penglihatanmu.” Maka ia pun tersenyum dan berkata, “Anakku, Ketetapan Allah atas diriku lebih baik bagiku dari penglihatanku.”

Oleh karenanya, jika sesuatu telah menimpa kita, tak perlu berlarut-larut menyalahkan diri, segera bangkitlah dan berbuat sesuatu, memperbaikinya. Karena menyesal dan berbuat lebih baik daripada hanya merutuki nasib. Karena sejatinya ia telah ditakdirkan oleh Allah. Maka usaha kita adalah memperbaiki takdir kita dengan menjemput takdir Allah yang lebih baik.

Sungguh indah perkataan Shalahudin al-Ayubi, “Bukan kita yang memilih takdir. Takdirlah yang memilih kita. Bagaimanapun takdir bagaikan angin bagi seorang pemanah. Kita selalu harus mencoba untuk membidik dan melesatkannya di saat yang paling tepat.”

Maka kejadian yang menimpa beberapa waktu ini setidaknya membuat saya belajar untuk lebih arif. Lebih hati-hati dalam bertindak, dalam berhubungan dengan sesama, dan dalam segala hal. Dan yang lebih penting lagi untuk memperbaiki diri.

*Terima kasih untuk saudaraku, terima kasih untuk kain pembersih kacamatanya, kacamataku yang buram sudah bisa dipakai melihat dengan lebih jelas. Karena dunia memanglah tidak sepicisan itu :D Hamasah!

** repost from my multiply blog here

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

Silakan meninggalkan komentar Anda di sini